Kebijakan PD Parkir Makassar yang akan memungut biaya parkir setahun sekaligus lewat pajak kendaraan dinilai sebagai pemaksaan berkedok efisiensi layanan.

Oleh: Zulkifli Malik

Rencana Pemerintah Kota Makassar melalui PD Parkir untuk menggabungkan pembayaran parkir dengan pajak kendaraan pada 2027 patut dikuliti habis-habisan.

Alih-alih disebut inovasi pelayanan publik, kebijakan ini justru berpotensi menjadi bentuk iuran wajib terselubung yang dipaksakan kepada seluruh warga, tanpa mempertimbangkan asas keadilan dan logika penggunaan jasa.

Bagaimana tidak, semua pemilik kendaraan baik yang rutin menggunakan fasilitas parkir maupun yang jarang keluar rumah akan dipukul rata dengan tarif tahunan Rp365 ribu untuk motor dan Rp730 ribu untuk mobil.

Dalih efisiensi dan “lebih hemat” yang diklaim Plt Dirut PD Parkir Adi Rasyid Ali (ARA) terdengar manis, tetapi sekaligus terkesan  manipulatif dan kolerasinya di mana.

Bahkan, kebijakan ini seolah menggambarkan jika terjadi, Kantor Samsat tidak lagi terdiri 3 institusi (Bapenda Sulsel, Jasa Raharja, Kepolisian) dan bertambah PD. Parkir Makassar

Igay, kebijakan ini hanya menghitung dari sudut pandang pengguna aktif parkir harian. Lalu bagaimana dengan ibu rumah tangga yang motornya hanya dipakai sesekali? Bagaimana dengan nelayan, petani kota, atau pekerja informal yang tidak tiap hari ke tengah kota? Apakah mereka wajib membayar jasa yang tidak mereka gunakan?

Logika “kalau tidak dipakai, jual saja motornya” yang dilontarkan ARA bahkan memperlihatkan arogansi kebijakan, bukan melayani, tapi memaksa.

Sebuah pernyataan pejabat publik yang seolah lupa bahwa kendaraan bukan semata alat gaya hidup, melainkan kebutuhan mobilitas dasar.

Lebih jauh, PD Parkir berjanji akan menyerap 3.000 juru parkir menjadi pegawai bergaji UMP, sekaligus meningkatkan PAD hingga 100 kali lipat.

Klaim fantastis ini harus dipertanyakan, dari mana perhitungan Rp300 miliar itu muncul? Apakah studi kelayakannya sudah dipublikasikan? Bagaimana skema kontrol kebocoran, padahal praktik parkir liar dan pungli masih terjadi bahkan dibekingi oknum aparat sebagaimana diungkap polisi sendiri?

Jika parkir digabungkan dengan pajak kendaraan, maka secara teknis PD Parkir tengah mencoba menumpang di atas otoritas fiskal negara.

Sebab pajak kendaraan adalah penerimaan negara/daerah berbasis kepemilikan, sementara parkir adalah retribusi berbasis pemakaian. Menggabungkan keduanya tanpa mekanisme pilihan paket keanggotaan misalnya paket parkir terbatas atau fleksibel sama saja dengan menjadikan layanan publik sebagai monopoli wajib.

Kebijakan ini juga membuka potensi kriminalisasi baru. Bagaimana jika seseorang menolak bayar parkir karena merasa tidak membutuhkan? Apakah STNK-nya akan ditahan? Apakah ia dianggap menunggak pajak padahal sesungguhnya hanya tidak ingin membayar parkir?

Jika pemerintah Kota Makassar serius ingin memperbaiki sistem parkir, seharusnya yang diperkuat adalah digitalisasi transaksi langsung dan penegakan hukum terhadap parkir liar, bukan malah menciptakan iuran baru secara pukul rata.

Transparansi tidak lahir dari penarikan uang besar-besaran, tapi dari keberanian membuka laporan pendapatan secara real time.

Sebelum kebijakan ini dipaksakan, DPRD dan publik harus menguji dua hal: (1) keadilan distribusi beban, dan (2) akuntabilitas pengelola anggaran. Jangan sampai parkir tahunan ini hanya jadi mesin uang baru, sementara jalanan tetap semrawut, tukang parkir liar tetap berkeliaran, dan warga kecil yang sesekali keluar rumah tetap dipalak atas nama “efisiensi”.

Karena pelayanan publik seharusnya mempermudah, bukan menyetor tanpa syarat.

Berita Terkait