Reformasi kepolisian terus digembar-gemborkan seolah menjadi solusi tunggal bagi problem hukum di Indonesia.

Oleh: Zulkifli Malik

Namun, pertanyaan kritis muncul, apakah hanya polisi yang bermasalah, atau lembaga negara lain juga belum sepenuhnya berjalan sesuai mandat rakyat untuk melayani, bukan menguasai?

Nah, isu reformasi kepolisian kerap menjadi sorotan utama publik di Indonesia.

Sejak era reformasi 1998, kepolisian dianggap sebagai lembaga penegak hukum yang paling banyak mendapat tekanan untuk berubah.

Hal ini bukan tanpa sebab, sebab citra Polri kerap diwarnai persoalan penyalahgunaan wewenang, tindak kekerasan, korupsi, hingga praktik diskriminasi hukum.

Hal ini didasari data Indonesian Corruption Watch (ICW) tahun 2024 menunjukkan, polisi masih masuk dalam tiga besar lembaga negara yang paling banyak dilaporkan masyarakat terkait dugaan pungutan liar dan suap.

Namun, fokus reformasi yang seolah hanya diarahkan pada kepolisian justru melahirkan pertanyaan lebih luas, apakah lembaga lain seperti kejaksaan, pengadilan, bahkan birokrasi sipil sudah otomatis berjalan sesuai kehendak rakyat?

Faktanya, laporan Transparency International tahun 2023 menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara dalam indeks persepsi korupsi, di mana peran lembaga non-polisi seperti kejaksaan, DPR, dan lembaga peradilan juga turut menyumbang persepsi negatif tersebut.

Tampak dari kritik publik terhadap Polri cenderung lebih masif karena polisi bersentuhan langsung dengan rakyat dalam urusan sehari-hari.

Dari pelayanan SIM, tilang, laporan kriminal, hingga patroli jalan raya, interaksi polisi dengan masyarakat sangat intens.

Sementara lembaga lain, seperti kejaksaan, TNI dan pengadilan, relatif “jauh” dari kehidupan harian rakyat, sehingga kritik publik tidak sekuat ke kepolisian.

Inilah yang membuat isu reformasi polisi terasa lebih keras dan riuh dibanding lembaga lain.

Jika dilihat dari sisi angka, Ombudsman Republik Indonesia mencatat pada 2023 bahwa laporan masyarakat terbanyak terkait maladministrasi datang dari sektor kepolisian dengan persentase sekitar 18,7%, diikuti pemerintah daerah 16,4%, dan kementerian/lembaga 15,3%.

Artinya, meski kepolisian memang bermasalah, lembaga lain juga tidak steril dari praktik yang merugikan rakyat.

Kejaksaan, misalnya, juga kerap mendapat sorotan tajam dalam penanganan kasus korupsi. ICW mencatat, sepanjang 2022 ada 603 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp42,7 triliun, namun vonis rata-rata bagi terdakwa hanya 3 tahun penjara.

Hal ini menunjukkan bahwa peran jaksa dan hakim dalam memberi efek jera masih lemah.

Maka, jika hanya polisi yang digenjot reformasi, sementara kejaksaan dan pengadilan tidak, rantai penegakan hukum tetap timpang.

Selain sektor hukum, birokrasi sipil pun tidak kalah bermasalah. Laporan World Bank (2023) tentang Ease of Doing Business menyoroti bahwa salah satu hambatan terbesar investasi di Indonesia adalah birokrasi yang berbelit dan korupsi di tingkat perizinan.

Di sinilah rakyat sering merasa “tidak dilayani”, melainkan justru dipersulit oleh aparatur negara.

Apakah ini menandakan birokrasi kita sudah sesuai dengan semangat melayani rakyat? Jelas belum!

Hal yang sama bisa dilihat di lembaga legislatif. DPR RI yang memiliki fungsi pengawasan seringkali justru terseret dalam kasus etik maupun korupsi.

Data KPK menunjukkan sejak 2004 hingga 2024 ada lebih dari 300 anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi.

Lalu, jika reformasi hanya digencarkan pada polisi, bagaimana dengan lembaga wakil rakyat yang sejatinya justru berperan penting dalam menjaga kualitas demokrasi itu.

Sementara, di sektor kehakiman, Judicial Integrity Network Asia Pasifik tahun 2023 menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kepercayaan rendah terhadap pengadilan, yakni hanya sekitar 36% publik percaya putusan hakim bebas dari intervensi politik maupun suap.

Padahal, pengadilan adalah puncak keadilan. Jika aparat pengadilan gagal, maka polisi sekalipun yang sudah direformasi tetap tak bisa menjamin keadilan substantif.

Satu alasan mengapa reformasi polisi begitu ditonjolkan adalah karena skandal yang melibatkan mereka mudah menjadi konsumsi publik.

Kasus pembunuhan Brigadir J oleh mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo (2022) adalah contoh nyata bagaimana polisi bisa mengkhianati tugas mulianya, sekaligus mencoreng wajah institusi.

Namun, publik sering lupa bahwa kasus-kasus serupa juga terjadi di lembaga lain, hanya saja tidak selalu terekspos secara luas.

Maka, membicarakan reformasi seharusnya tidak berhenti pada kepolisian. Reformasi harus dipahami sebagai gerakan menyeluruh di semua lini lembaga negara, polisi, jaksa, hakim, birokrasi, DPR, bahkan kementerian.

Rakyat menuntut pelayanan, keadilan, dan transparansi dari semua institusi. Tanpa itu, reformasi akan timpang seolah polisi dipaksa “bersih”, sementara lembaga lain tetap berjalan dengan pola lama.

Kesimpulannya, polisi memang pantas digenjot reformasi karena mereka adalah wajah terdepan negara di mata rakyat.

Namun pertanyaan kritisnya, apakah lembaga lain sudah berjalan sesuai kehendak rakyat?

Data dan fakta di yang dipaparkan di atas, menunjukkan jawabannya, yakni  belum.

Maka, agenda reformasi seharusnya bukan sekadar reformasi kepolisian, melainkan reformasi kelembagaan secara menyeluruh agar negara benar-benar hadir melayani rakyat, bukan hanya tampil sebagai penguasa yang berjarak. (*)

 

Berita Terkait