MAKASSAR– Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda Sulsel) bakal menerapkan kebijakan kendaraan telat pajak tak bisa isi Bahan Bakar Minyak BBM di SPBU Pertamina. Baik jenis Solar, Pertalite maupun Pertamax.
Hal ini dikritisi banyak kalangan, seperti halnya aktivis Gerakan Pelajar Mahasiswa Garda Nusantara (GEMA) Sulsel, Ansar Makkasau yang meminta Bapenda Sulsel menjelaskan urgensi kebijakan tersebut sehingga secepatnya akan diberlakukan.
“Jika ada kebijakan yang melarang pengisian bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan yang menunggak pajak, ada potensi masalah hukum terkait hak-hak warga negara,” tegas Ansar, Minggu (6/10/24).
Dikatakan, Pembatasan akses terhadap BBM, yang merupakan kebutuhan vital bagi mobilitas, bisa dianggap melanggar beberapa prinsip dalam hukum Indonesia, termasuk:
1. Hak Asasi Manusia (HAM):
Dalam Pasal 28D UUD 1945, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Membatasi akses BBM berdasarkan status pajak dapat dipandang sebagai tindakan diskriminatif dan melanggar hak-hak dasar ini.
Pasal 28I UUD 1945 juga menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan hak untuk mendapatkan kemudahan dan perlindungan hukum tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi:
UU ini mengatur pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi, termasuk distribusi BBM. Pembatasan akses BBM berdasarkan status pembayaran pajak bisa bertentangan dengan prinsip ketersediaan dan aksesibilitas yang diatur dalam UU ini, di mana distribusi BBM seharusnya dijamin merata untuk kepentingan umum.
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:
Pasal 38 UU ini menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kesejahteraan dan kemakmuran yang meliputi terpenuhinya kebutuhan dasar. Akses BBM sebagai kebutuhan sehari-hari bisa dianggap sebagai salah satu kebutuhan dasar, dan membatasinya karena tunggakan pajak dapat dianggap menghambat hak tersebut.
“Kami.melohat ada potensi Pelanggaran, jika kebijakan tersebut diterapkan, bisa timbul pertanyaan apakah pembatasan tersebut proporsional dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Meski negara berwenang untuk memungut pajak, pembatasan akses ke BBM mungkin dianggap tidak sebanding dengan pelanggaran administratif (menunggak pajak), sehingga berpotensi melanggar hak-hak konstitusional atau prinsip nondiskriminasi dalam hukum,” tambahnya.
Namun, hal ini kata Ansar, tergantung pada perumusan kebijakan dan argumen hukum yang diajukan, serta apakah kebijakan tersebut secara sah dianggap sejalan dengan kepentingan umum yang lebih besar, seperti penegakan hukum perpajakan.
Sementara, Penegakan hukum perpajakan di Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip kewajiban warga negara untuk berkontribusi terhadap pembiayaan negara melalui pembayaran pajak, sebagaimana diatur dalam berbagai undang-undang perpajakan.
“Narasi tentang pembatasan akses BBM untuk kendaraan yang menunggak pajak menimbulkan berbagai pandangan dari perspektif penegakan hukum perpajakan,” tegas Ketua GEMA Sulsel.
ia memberi beberapa pandangan dalam konteks tersebut:
1. Penegakan Hukum Perpajakan dan Kewajiban Membayar Pajak
Pemerintah memiliki hak dan kewenangan untuk menegakkan kewajiban perpajakan melalui berbagai mekanisme, termasuk sanksi administratif seperti denda, bunga keterlambatan, dan penyitaan aset. Pembayaran pajak kendaraan bermotor merupakan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta undang-undang terkait lainnya.
Pembatasan akses BBM bagi kendaraan yang menunggak pajak dapat dilihat sebagai upaya penerapan sanksi untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Dalam kerangka hukum pajak, sanksi bertujuan agar masyarakat taat pada aturan.
2. Keseimbangan antara Penegakan Hukum dan Hak Warga Negara
Sanksi perpajakan harus proposional dan sebanding dengan pelanggaran yang dilakukan. Pembatasan akses BBM yang merupakan kebutuhan vital dapat dipandang sebagai sanksi yang berlebihan (disproportionate), terutama jika dilihat sebagai langkah yang tidak proporsional terhadap tunggakan pajak yang sifatnya administratif.
Undang-undang perpajakan telah menyediakan mekanisme yang lebih terukur dan spesifik dalam penegakan, seperti denda, penyitaan aset, atau pengadilan pajak. Pembatasan akses BBM mungkin dianggap menyimpang dari mekanisme hukum yang sudah ada.
3. Kepentingan Umum vs. Hak Individu
Penegakan hukum pajak bertujuan untuk kepentingan umum, yaitu pembiayaan negara yang berkeadilan. Namun, tindakan penegakan harus tetap memperhatikan hak individu yang diatur dalam konstitusi. Menghubungkan pembayaran pajak dengan akses BBM bisa dipandang sebagai bentuk paksaan yang tidak adil terhadap warga negara yang menghadapi kesulitan ekonomi atau situasi tertentu.
Di sisi lain, pemerintah dapat berargumen bahwa kebijakan ini diperlukan untuk mendorong kepatuhan dan meminimalisir penghindaran pajak, yang berdampak negatif pada penerimaan negara.
4. Preseden Hukum dan Kebijakan
Jika kebijakan ini diimplementasikan, bisa memunculkan preseden hukum tentang apakah pembatasan akses terhadap layanan atau kebutuhan publik bisa dijadikan alat penegakan pajak. Sejauh ini, sanksi perpajakan di Indonesia tidak mencakup larangan terhadap akses layanan umum seperti pengisian BBM, yang merupakan barang yang dibutuhkan sehari-hari oleh masyarakat.
5. Pendekatan Alternatif
Penegakan hukum perpajakan mungkin lebih efektif jika fokus pada peningkatan kesadaran dan pemahaman pajak, serta sanksi yang lebih relevan dengan pelanggaran. Misalnya, peningkatan kerja sama antara kepolisian dan dinas pajak untuk mengidentifikasi kendaraan yang menunggak pajak melalui razia atau sistem elektronik, sehingga penegakan dapat dilakukan tanpa melibatkan pembatasan akses ke BBM.
Penerapan sistem yang lebih informatif dan mudah diakses untuk mempermudah masyarakat membayar pajak kendaraan juga bisa menjadi solusi tanpa harus membatasi layanan dasar.
“Dalam pandangan penegakan hukum perpajakan, kebijakan yang melarang pengisian BBM untuk kendaraan yang menunggak pajak perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Meskipun bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak, kebijakan ini berisiko melanggar hak-hak dasar dan dapat dipandang tidak proporsional,” paparnya.
Menutup perbincangan, Aktivis ini menambahkan, pendekatan yang lebih sesuai dengan prinsip keadilan dan penegakan hukum yang seimbang mungkin akan lebih diterima dan efektif.
Sayangnya Kepala Bapenda Sulsel Reza Faizal Saleh berupaya dikonfirmasi termasuk via telepon selularnya, belum membalas beberapa poin konfirmasi LantasInfo. (*)